DESAINER

Friday, January 21, 2011

Dunia Maya Pilar Kelima Demokrasi



SANDIWARA politik antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) telah membawa implikasi serius terhadap integritas dan kredibilitas wakil rakyat tersebut. Masyarakat tidak bisa lagi mengharapkan DPR untuk memperjuangkan suaranya. DPR harus membayar mahal ongkos politik, yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat. Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru, beberapa kasus telah menunjukkan hilangnya integritas dan kredibilitas DPR. Lihat saja ulah beberapa anggota DPR yang menerima suap, yang akhirnya berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian kasus hilangnya ayat tembakau di dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan. Jadi kalau faktanya seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari DPR?

Sebenarnya di dalam demokrasi terdapat empat pilar, yaitu pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif), pengadilan (yudikatif), dan terakhir media. Media merupakan pilar yang terakhir yang mempunyai fungsi kontrol sosial. Keempat pilar tersebut masing-masing mempunyai posisi yang independen dan tidak boleh saling mengintervensi. Hal ini bertujuan menciptakan kondisi check and balances. Demokrasi tidak akan berjalan dengan baik ketika salah satu atau beberapa pilar demokrasi diintervensi oleh pilar yang lainnya. Atau ketika pemerintah mengintervensi DPR, pengadilan, dan media, jelaslah demokrasi akan mati. Matinya demokrasi bukanlah sesuatu yang kita harapkan karena umur demokrasi di negara kita baru sewindu. Demokrasi hanyalah satu-satunya sistem politik yang telah teruji beratus-ratus tahun lamanya. Demokrasi juga memberikan kesempatan kepada semua orang tanpa diskriminasi untuk berpartisipasi dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan tata pemerintahan dan kenegaraan.

Demokrasi akan mati ketika kondisi check and balances sudah tidak ada lagi. Dalam kasus sandiwara politik antara Komisi III DPR dan Kapolri menunjukkan sudah tidak ada lagi check and balances karena Komisi III DPR lebih berpihak kepada polisi dan pemerintah, serta meninggalkan suara konstituennya. Di dalam kondisi ini, sudah jelas pilar pertama dan kedua demokrasi, yaitu pemerintah dan DPR, sudah menyatu. Jika kondisi itu tetap dipertahankan, akan membahayakan eksistensi demokrasi itu sendiri. Pemerintahan otoriterlah yang akan muncul. Kemudian, harapan tinggal pada pilar ketiga dan keempat, yaitu pengadilan dan media. Tetapi, kondisi pengadilan sekarang ini sedang terjangkit penyakit korupsi peradilan, kecuali Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kontribusinya dalam menjalankan roda demokrasi sukar diharapkan. Harapan terakhir ada pada media, yang relatif bekerja dalam fungsi kontrol sosialnya. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi betul-betul telah dimanfaatkan secara baik oleh media. Walaupun terdapat dominasi pemilik modal di dalam menentukan kebijakan media tersebut, media tidak melupakan fungsi kontrol sosialnya.

Di sisi lain, muncul dunia maya sejalan dengan perkembangan teknologi nirkabel yang begitu pesat pasca munculnya jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Masyarakat benar-benar telah memanfaatkan dunia maya secara efektif untuk mengekspresikan pendapatnya atau untuk memperluas jaringannya. Di dalam suatu masyarakat terbuka, Karl Popper (1992) menggambarkan arus informasi akan menjadi kata kunci di dalam menentukan peradaban manusia. Manusia yang beradab adalah manusia yang mengikuti perkembangan informasi dan mampu mengelola informasi secara baik. Manusia yang tidak mampu mengikuti perkembangan informasi dan mengelola informasi secara baik akan digilas perkembangan zaman. Jejaring sosial di dunia maya merupakan jawaban atas pertanyaan bagaimana mengikuti dan mengelola informasi di dalam suatu masyarakat terbuka.

Pilar kelima demokrasi
Jejaring sosial di dunia maya memberikan kontribusi besar untuk pembentukan opini di dalam kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Khususnya ketika Usman Yasin membuat grup di Facebook guna menggalang dukungan untuk Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dan telah berhasil menembus 1 juta Facebookers. Ketika pemerintah dan DPR bersatu untuk membela Polri, jejaring sosial di dalam dunia merupakan wahana alternatif untuk menampung aspirasi masyarakat. Di dalam dunia maya, pendapat masyarakat tidak bisa dibendung atau disensor, seperti gelombang tsunami yang menghantam daratan pascagempa bumi. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), 1 juta suara masyarakat di dalam grup Facebook tersebut tidak boleh dianggap remeh oleh pemerintah dan DPR.

Masyarakat sekarang sudah menyadari DPR tidak bisa diharapkan lagi memperjuangkan suara mereka karena DPR telah mengalami rabun sosial dan autisme sosial. DPR sibuk dengan urusannya sendiri dan melupakan suara konstituennya. Atau dengan kata lain DPR sedang melakukan politik kartel, yaitu partai-partai politik (parpol) secara kolektif mengabaikan komitmen ideologi atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok (Kuskrido Ambardi, 2009:353). Masyarakat juga sudah memahami perilaku DPR yang sedang menjalankan politik kartel demi mengamankan sumber dan akses kekuasaannya.

Menurut Juergen Habermas (2009), di dalam suatu negara hukum yang demokratis, legitimasi demokratis terletak pada kualitas wacana. Jadi pada masa masyarakat terbuka seperti sekarang ini, legitimasi demokrasi tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, DPR, dan pengadilan. Peran media dan jejaring sosial di dunia maya dalam membentuk kualitas wacana juga merupakan kunci legitimasi demokrasi. Artinya, legitimasi demokrasi ada pada media dan jejaring sosial di media ketika mereka mewacanakan sesuatu yang bisa diuniversalkan dan diterima oleh masyarakat.

Jejaring sosial di dunia maya merupakan pilar kelima di dalam demokrasi yang secara efektif tidak hanya untuk membentuk opini publik, tetapi juga menentukan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan dan tata kenegaraan. Jejaring sosial di dunia maya, Mahkamah Konstitusi (MK) dan media akan saling bergantian menjalankan roda demokrasi, ketika pemerintah, DPR dan pengadilan konvensional mengalami kelumpuhan. [] (Sumber Tulisan: Media Indonesia, 12 November 2009).